Cari di Blog Ini

Monday, October 19, 2009

PERSPEKTIF

Perspektif Pemodal Lebih Dominan

Beberapa waktu lalu, koran ini menyoroti laporan tentang banyaknya peraturan daerah (perda) bermasalah yang dibatalkan Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Benarkah agenda pemilik modal dan resentralisasi menjadi pendorong utama pembatalan perda-perda tersebut? Berikut ulasan Nur Hidayat dari Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).

Istilah perda bermasalah merujuk pada peraturan daerah yang dinilai bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan yang lebih tinggi. Karena alasan itu, perda tersebut kemudian direkomendasikan untuk dibatalkan atau direvisi. Dalam bahasa Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), kebermasalahan peraturan daerah tersebut mencakup kebermasalahan prinsip, substansi, serta teknis/yuridis.

Kebermasalahan prinsip didefinisikan sebagai masalah-masalah peraturan daerah terkait dalam konteks aktivitas perekonomian secara luas. Yang termasuk jenis kebermasalahan itu adalah pelanggaran prinsip free internal trade, persaingan sehat, dampak ekonomi negatif, menghalangi akses ekonomi masyarakat dan kepentingan umum, serta wewenang pemerintahan.

Sementara itu, kebermasalahan substansi didefinisikan sebagai masalah-masalah yang terkait dengan internal peraturan daerah. Contohnya, diskoneksi antara tujuan dan isi perda, ketidakjelasan objek dan subjek pungutan, ketidakjelasan hak dan kewajiban wajib pungut atau pemda, ketidakjelasan standar pelayanan (waktu, biaya, prosedur, struktur, dan standar tarif), serta ketidaksesuaian filosofi dan prinsip pungutan.

Kebermasalahan teknis/yuridis diartikan sebagai masalah-masalah yang terkait dengan acuan yuridis peraturan daerah. Contohnya, relevansi acuan sumber hukum, acuan perundangan terbaru, dan kelengkapan teknis yuridis formal yang harus dipenuhi perda mengenai pungutan.

Sampai akhir 2005, Depdagri menyampaikan bahwa 600 perda telah dibatalkan. Jumlah tersebut bertambah 100 perda yang sedang dibahas Biro Hukum Depdagri dan termasuk kategori layak dibatalkan (Jawa Pos, 31 Oktober 2006). Jumlah itu didominasi perda tentang pajak daerah, retribusi daerah, dan sumbangan pihak ketiga yang dianggap memicu ekonomi biaya tinggi serta menghambat iklim investasi di daerah.

Jika dihitung sejak ditetapkannya UU No 22 Tahun 1999, Depdagri telah menerima 5.054 perda tentang pajak daerah, retribusi daerah, dan sumbangan pihak ketiga. Setelah dikaji, 3.966 perda dinyatakan layak dilaksanakan, 158 perda direvisi, dan 930 perda masuk kategori "layak dibatalkan".

Sangat wajar jumlah perda yang dianggap bermasalah itu didominasi kebijakan daerah yang memicu ekonomi biaya tinggi dan menghambat iklim investasi. Sebab, perda bermasalah memang lebih banyak ditetapkan sebagai respons pemerintah atas laporan dari kalangan dunia usaha yang, antara lain, diwakili KPPOD.

Jika konsisten terhadap kriteria kesesuaian perda dengan kepentingan umum serta peraturan yang lebih tinggi, sebenarnya masih banyak perda lain yang termasuk kategori bermasalah. Contohnya, Koalisi Anti-Perda Diskriminatif beberapa waktu lalu mengadu ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum HAM). Mereka melaporkan sekitar 40 perda yang ditengarai diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu dan melanggar HAM.

Dalam skala lebih masif, perda tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang tidak mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen sesuai amanat UUD 1945 seharusnya juga dimasukkan kategori bermasalah. Kenyataannya, tidak satu pun perda APBD semacam itu dianggap bermasalah atau dibatalkan oleh Depdagri hingga saat ini.

Padahal, selain UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), ketentuan tersebut dipertegas dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Penjelasan pasal 167 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 mempertegas kewajiban daerah dalam memprioritaskan alokasi belanja daerah sebesar 20 persen untuk pelayanan dasar pendidikan.

Contoh lain perda yang layak dimasukkan kategori bermasalah tetapi tidak pernah di-review pemerintah hingga saat ini adalah perda tentang retribusi terminal. Penilaian tersebut didasarkan pada kondisi bahwa hampir semua perda tentang retribusi terminal mencantumkan peron -yang nomenklaturnya kemudian diganti menjadi retribusi jasa ruang tunggu- sebagai salah satu objek retribusi.

Padahal, pencantuman itu jelas-jelas bertentangan dengan peraturan pemerintah (PP) tentang retribusi daerah, baik PP Nomor 20 Tahun 1997 -sebagai penjabaran UU Nomor 18 Tahun 1997 yang ditandatangani Soeharto jauh sebelum era otonomi daerah- maupun PP Nomor 66 Tahun 2001 sebagai penjabaran UU Nomor 34 Tahun 2000.

Dalam kedua PP yang dimaksud itu, retribusi terminal dimasukkan dalam jenis retribusi jasa usaha yang termaktub dalam pasal 3 ayat 2. Disebutkan, retribusi jasa usaha menganut prinsip komersial (pasal 1 angka 4) yang prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima pengusaha swasta sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar (pasal 9).

Pada penjelasan pasal 3 ayat 2 huruf d disebutkan, retribusi terminal adalah pelayanan penyediaan tempat parkir untuk kendaraan penumpang dan bus umum, tempat kegiatan usaha, dan fasilitas lain di lingkungan terminal, yang dimiliki dan/atau dikelola pemerintah daerah. Dengan ketentuan tersebut, pelayanan peron tidak dipungut retribusi.

Merujuk ketentuan itu, tampak jelas bahwa penetapan retribusi jasa ruang tunggu (baca: peron) sebagai objek retribusi hanyalah siasat bahasa untuk melanggengkan pungutan yang menjadi sumber potensial bagi pendapatan daerah. Meski bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan membebani masyarakat, pemerintah cenderung menutup mata karena perda semacam itu tidak merugikan dunia usaha.

Karena itu, tidak aneh kiranya ada yang menganggap, rilis perda bermasalah sarat nuansa kepentingan pemerintah pusat untuk mendelegitimasi pemerintah daerah dan para pemilik modal yang menghadapi maraknya pungli pascaotonomi daerah.

Menariknya, rilis perda bermasalah tahun ini dilakukan Depdagri pasca terbitnya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi dan menjelang pembahasan rancangan peraturan pemerintah tentang evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bagaimana pendapat Anda?


NAMA:SUTRISNO

KELAS:XI IPS 2

No comments:

Post a Comment

Untuk menempelkan Avatar ketik :a: atau :b: dst sampai :f: atau lihat disamping gambar.

Berilah komentar yang positif demi meningkatkan kreatifitas siswa / anak bangsa.